Labels

Oct 29, 2015

I Don't Want You To Know Me

Dua minggu terakhir ini entah bagaimana pikiran saya lari ke mana-mana, mulai dari tugas lalu lari ke buku-buku lalu ke pikiran-pikiran random yang gatau apa, dan pada seseorang. Suatu hari di dua minggu lalu, saya tertarik pada seseorang.

Tidak kenal. Hanya tau nama. Dan sudah, begitu saja.

Lucu sebenarnya, karena pas putus dengan mantan dulu pernah sok-sok berteguh hati akan mengesampingkan hal-hal menye macam ini. Tapi Tuhan Maha Membolak-balikkan Hati Hamba-Nya. Dia tidak hanya punya cara untuk membuat dua orang bertemu , tapi juga cara misterius untuk membuat seseorang jatuh cinta tanpa membuat yang dijatuhi merasakan hal yang sama.

Tidak ada yang saya khawatirkan tentang orang ini sih. Karena alur cerita macam ini yang berlaku untuk saya selalu sama. Ketika saya suka seseorang, dia akan melihat orang lain, suka orang lain,  melihat saya dari sisi yang tidak cantik (dan memang tidak cantik, tidak ada gunanya berpura-pura), dan kemudian jijik. Selalu begitu, mungkin sejak awal, jadi bagian akhirnya mudah ditebak. Andai kata sebuah film, film saya hanya akan meledak di tiga hari pertama pemutarannya dan sepi penonton di akhir minggu. Jadi jujur saja, tidak ada yang saya harapkan.

Saya kembali duduk di bangku penonton, menikmati rasanya memandang seseorang dari jauh seperti nonton ludruk, dan belajar bahagia. Yang ini, sampai sini saja. Jangan sampai dia tahu saya. Dia tak akan suka kalau saya suka dia.

Oct 17, 2015

Complain



Yak, saya siap dihina karena tidak mempersiapkan ujian dengan baik, tapi saya tidak mengira pertanyaan itu akan dikeluarkan, simply because it was totally unpredictable. Sebagai anak bahasa saya sendiri merasa malu karena LUPA sama pengertian ketiga hal itu wkwk. Sebenernya nggak lupa, cuma..... gatau kata-kata yang tepat untuk menuliskan jawaban *ngeles*. Btw mahasiswa mengeluh kan boleh kan yaaa?

Oct 14, 2015

Perempuan Perrrrrkasa

Awalnya, diskusi dimulai dari psikologi sastra tapi entah kenapa larinya jadi ke masalah 'perempuan' dan sedikit bawa-bawa feminisme. Kemudian sang dosen cerita (note : dosennya perempuan) bahwa sebagai perempuan kita juga harus kuat, tetapi gambaran beliau tentang perempuan perkasa itu ternyata macam jatuh dari genteng, manjat pohon, 'tomboy', atau mungkin kalo yang agak keren dikit adalah istri-istri yang kuat 'menderita' dalam rumah tangga yang berantakan atau suami yang berpoligami.

Di sini saya merasa ada sedikit perbedaan pengertian antara beliau (yang saya yakin sudah sangat expert dalam bidangnya) dengan saya (yang baru mahasiswa, ehem, semester tiga) tentang 'perempuan perkasa'. Bagi saya perempuan perkasa adalah mereka yang nggak cuma bisa melakukan apa yang laki-laki bisa, tapi juga dia perempuan yang mentally (and fine, physically) tangguh. Perempuan tangguh juga bukan hanya mereka yang sudah punya suami namun sayang suaminya selingkuh, berpoligami, atau suaminya suka main tangan.

Perempuan dalam gambaran seperti itu sudah terlalu klise. Too overrated. Entahlah, tapi saya merasa justru wanita-wanita yang begitu mencolok dengan cerita 'kasihan saya, suami saya selingkuh' itu agak sedikit tidak sedap dirasa. Ok mereka berkorban tidak hanya fisik yang dapat diobati, tapi juga berkorban perasaan yang susah diobati. Apa yang hendak mereka buktikan? 'Kuat' atau 'nature perempuan yang lembut, loyal, pemaaf, lemah di hadapan pria dan karena itu berusaha (atau malah bisa) bertahan dengan kondisi demikian, dan karena itu juga disebut juga kuat dan perkasa, tidak terkalahkan oleh pria'?

Ok, mereka juga para perempuan perkasa. Tapi harus ada sesuatu lain yang membuat dia menjadi 'perempuan sangat perkasa' yang lebih tangguh. Seperti Kartini, Dewi Sartika, Margaret Thatcher, Joan D'Arc, Florence Nightingale, Marie Curie, Queen Victoria, Eleanor Roosevelt, Anne Frank, Harriet Tubman, dan Agatha Christie, dan buanyak wanita-wanita perkasa lain, saya pikir mereka tidak hanya survive dalam masalah rumah tangga tapi mereka juga bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dan lebih baik untuk banyak orang. Perempuan yang punya kekuatan seperti mereka itu yang menurut saya lebih berhak disebut perempuan perkasa.

Ketika sedang senggang di kelas (bosan, misalnya) saya diam-diam membuat coretan ngawur. Dan saya menulis tentang masalah ini dengan mengambil contoh.... Cinderella dan Mulan. Yea another cliche.

"Rather than Cinderella who survives her miserable life with her stepmom and sisters, I'd prefer be Mulan who fights in a battle.

Cinderella is a strong girl but Mulan describes my definition of 'iron lady'. Mulan freed China from a great danger and finally married General Shang while Cinderella defeated her stepsisters and lived happily ever after with her prince. Both get a prince in different way, but life isn't always about getting a prince anyway.

The other difference is that Mulan is a legendary woman warrior while Cinderella is only a fairy tale character."

Yah, ngomongin masalah perempuan emang nggak ada habisnya.

Jum'at lalu di kelas saya ada mbak-mbak yang (kayaknya) dari golongan Islam radikal datang 'berdakwah' di kelas pagi-pagi selagi kelas hanya berisi lima orang. Dia bicara tentang perempuan, dan yang saya tangkap malah seakan-akan dia ngejudge kalo perempuan bekerja itu dosa banget. Well okay, perempuan itu tulang rusuk bukan tulang punggung, tapi perempuan punya kesempatan mengembangkan diri dan hal itu tidak selalu bisa didapat ketika perempuan hanya menjalankan satu fungsi : ibu. Ibu di rumah, ngurus anak, ngurus suami, ngurus rumah, dan ketika suaminya 'nakal' dia cuma jadi sasaran pukulan, dia hanya bisa menahan diri karena dia perempuan. Dia tidak punya kesempatan melawan karena melawan suami itu dosa. Ya kapan majunya perempuan kalo kaya gitu?

Saya tidak menghina atau merendahkan peran ibu, no. Ibu itu penting, ibu itu sakral dan itu benar. Tapi peran ini yang kadang membuat perempuan enggan untuk mengembangkan diri dan akhirnya diremehkan juga.

Saya jadi ingat tentang picture yang kemaren dulu dibagi salah satu account di Line. Isinya tentang seorang pria yang ingin istrinya bekerja, kemudian teman si pria ini bilang 'yah, kalo wanitanya juga kerja, lumayanlah bisa mengatasi masalah finansial, nambah-nambah penghasilan', tapi kemudian si pria bilang 'no, saya tidak menganjurkan istri saya bekerja karena uang, tapi dia berhak atas pengalaman, pengetahuan, dan kesempatan untuk mengembangkan dirinya di jaman yang semakin modern ini. Kalo dia dapat uang dari kerja, itu uang dia, bukan hak saya. Saya yang tetap tanggung jawab atas nafkah dalam keluarga, bukan dia yang tanggung jawab'.

Don't you just love this kind of guy?! Jaman sekarang jarang ada cowok mau sama cewek pinter, maunya cewek cantik, jago masak, jago nyenenging cowoknya. Cewek yang kelewat pinter biasanya nggak bisa dipamerin ke temen, nggak enak dilihat, dan cupu deh. Biasanya malah ada cowok yang gamau pacaran sama cewek pinter gara-gara ntar kalah pinter, kalah wibawa. Duuuuuh.

Ok, balik lagi. Jadi saya pikir perempuan harusnya nggak cuma punya peran ibu dan istri aja, dia punya peran di masyarakat sosialnya, bangsanya, dan agamanya. Ketika semua fungsinya bekerja dengan baik, that's what you called 'iron lady'. Wanita perkasa.

Ah, tapi apalah, ini cuma tulisan subjektif seorang idealis yang nyerempet feminis. Selamat menikmati.

Oct 2, 2015

Bicara Bodoh

Seharusnya sore ini juga mencicil tugas yang menumpuk, tapi nggak tau kenapa saya lebih tertarik menulis (atau lebih tepatnya mengeluhkan) tentang kalimat ini :

"Aku itu bodoh, ga bisa apa-apa, aku ngeprint sama fotokopi aja."

Duh, apa sih. Saya nggak ngerti sama orang yang kayak gini. Kalo ngeluh gitu, buka usaha fotokopian aja, nggak usah kuliah. Kalo cuma fotokopi dan ngeprint, anak SD jaman sekarang juga bisa. Nonton talkshow bisa kok ngerjakan tugas kelompok aja minta tugas yang paling ringan.

Saya punya prioritas kak. Orang tua saya sudah bayar UKT yang tidak sedikit supaya saya bisa kuliah satu semester saja, saya setidaknya harus menunjukkan hasil terbaik yang bisa saya beri untuk bisa sedikit meringankan beban orang tua. Ingatlah, dulu kita juga mengeluh tentang UKT yang mahal itu. Tapi ya sudahlah, saya yakin orang lain punya prioritas yang berbeda-beda.

Ya emang tugas kelompok itu gampang banget. Satu anak yang nyari buku, satu anak yang baca, satu anak yang ngetik, satu anak yang ngeprint dan fotokopi. Tapi semuanya mikir. Bukan satu anak aja yang mikir. Belum juga pegang buku, belum browsing di internet, udah minta ngeprint sama fotokopi duluan. Andaikata pemain cadangan sepak bola, sebelum masuk lapangan udah minta pulang duluan.

Enak, kan tugas kelompok?  Yang ngerjakan satu dua orang tapi yang dapet A tujuh orang.

Perkara alasan 'aku kan ga bisa apa-apa' itu juga apa sih. Saya ga paham. Saya juga sering bilang saya bodoh atau nggak bisa apa-apa, karena itu saya tahu saya harus bertanya, berpikir, dan berdiskusi, atau mencari, membaca, dan mencoba. Gunakan semua kata kerja yang bisa digunakan biar kita nggak tenggelam dalam kebodohan.

Nggak ada yang namanya orang bodoh atau orang pinter. Semua orang itu bodoh dan pinter, skala keduanya dalam diri seseorang aja yang beda. Orang bodoh yang pinter itu nggak mau nyerah dengan ketidaktahuannya. Orang pinter yang bodoh itu berhenti berusaha karena kepintarannya. Pramoedya juga pernah bilang :
“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”

Itu lho kenapa orang harus terus berpikir dan harus terus cari tau. Yah kalo udah ngerasa bodoh, terus nggak mau berusaha cari tau itu namanya males.

Jadi sebenernya orang yang bilang "Aku itu bodoh, ga bisa apa-apa, aku ngeprint sama fotokopi aja" itu (pura-pura) bodoh apa males? Ah gatau ding, mungkin itu cuma pikiran buruk saya. Setidaknya hal kayak gini jadi pelajaran buat saya pribadi, misal pas kerja kelompok, I should or would make myself useful. Kalo ngerjakan terus ternyata salah, ya kan bisa jadi pelajaran dan pengetahuan buat diri sendiri. Tidak ada pengetahuan yang sia-sia. Jangan jadikan 'bodoh' sebagai alasan kita nggak berpikir dan berusaha mencari tau. Alias malas.

Cogito, ergo Sum. Ich denke, also bin ich. Je pense, donc je suis. I think, therefore I am.  
Aku berpikir maka aku ada.