Labels

Dec 2, 2017

What to Hope

Dari bandara menuju rumah, ada papan baliho yang mengubah hidupnya.

"Find the answer first and then question it"

Dalam bus kampus itu ia terdiam. Bahkan jawaban dari pertanyaan itu belum ia temukan : "what do you want to do?". Ia pulang ke rumah dengan langkah terhuyung, berat punggung, berat hati, dan berat kepala.

Instagram dibuka dan dilihatnya ada banyak foto-foto bertebaran. Ia putuskan hari itu ia berhenti memberi hati, tahu betapa kecilnya pernak-pernak ini ketimbang isi dunia lain yang telah dan akan ia lihat. Nyaris yakin ia rasa, hampir separuh foto yang ia lihat palsu. Hanya sebuah gambaran orang-orang di tempat yang terlihat menyenangkan tanpa memperlihatkan sulitnya menjangkau tempat itu. I was there too, I was like that too. Pertanyaan yang sama muncul ketika ponsel pintar sudah tidak lagi ia pegang, 'what do you want to do?'.

Find the answer first and then question it.

Tapi tidak ada jawaban. Belum. Dibuka lagi social media lainnya. Di situlah ia melihat seseorang bicara tentang hidupnya jika ia sudah 45. Okay, what do you want to do now? Membuat hal yang sama.

To my 45-years-old self..

Berhenti di sana. 'Mau apa?'

I hope this letter reaches you in good health and life.

Setidaknya dengan bicara seperti itu, ia tahu ia belum mau mati ketika ia 45 tahun. Ia mau sehat dan lepas dari penyakit apapun. Ia mau hidup.

If it isn't good, it has ever been and will be. As you understand now, every storm will pass, and this one shall too. If it is, I am glad but I hope it doesn't satisfy you quickly.

Percaya bahwa kehidupan itu tidak statis membuatnya yakin bahwa ia akan baik-baik saja di masa depan.

Ia mulai mendaftar harapannya ketika ia sudah 45. Ia juga menambah harapan-harapan konyol yang tidak masuk akal, harapan akan dirinya yang sudah bisa mengatasi ketakutannya, harapan yang tidak muluk tapi membahagiakan, harapan yang sederhana, dan sedikit harapan yang terlalu fantastis. Menambahkan kata sifat yang baik-baik dan kata benda yang tidak terlalu abstrak (ia mencoba menghindarinya atau membuat definisi dari kata-kata itu).

Ia menulis semua sambil tertawa, sambil terisak-isak, kadang senyum-senyum malu dan kadang serius berteguh hati. Ia menulis dengan hati yang hangat dengan harap dirinya yang 45 tahun itu bisa merasa hangat juga hatinya. Ini adalah harapan jangka panjang, proposalnya untuk Tuhan, ia tidak tahu harapan mana yang akan dikabulkan.

Ia sudah membuat jawaban untuk pertanyaan "what do you want to do-with your life?", pertanyaan berikutnya, "what do you have to do?", "what has to be done?" dan "how could I be there?". Find the answer first and then question it.

Nov 12, 2017

Bagaimana Caranya Jadi Tuli dan Memilih untuk Tetap Bahagia

Yakinlah bahwa sebuah perjalanan adalah cara Tuhan, cara lingkungan semesta, dan cara diri kita memberi kejutan untuk diri kita sendiri. Yakinlah, perjalanan adalah cara paling tepat untuk membawa perubahan. Yakinlah, perjalanan adalah cara yang tepat untuk bertanya tentang banyak hal.

Perjalanan jauh dari rumah pertama kali saya lakukan di Thailand selama 60 hari. Dari sekian banyak masalah yang saya hadapi selama dalam perjalanan jauh ini, saya memilih satu saja masalah yang peliknya paling kurang ajar : cerita-cerita yang menyakitkan gendang telinga dan relung hari terdalam. 

Sayangnya, cerita-cerita ini dibuat oleh teman-teman sendiri. Sebenarnya sudah saya duga akan muncul selentingan aneh-aneh yang beredar. Tapi lebih menyedihkan kalau ternyata cerita itu datang dari orang terdekat. Saat itu rasanya saya mendapatkan kejutan. Hari itu saya berharap Tuhan memberikan tombol untuk mematikan fungsi pendengaran saya. 

'Tapi hey, coba deh pikir, kenapa Tuhan nggak menyediakan tombol turn-on turn-off di telinga?'

Mungkin begitulah cara Tuhan membuat para manusia yang berpendengaran normal menjadi tangguh. Mungkin begitulah cara kita menunjukkan bahwa kita bisa menjadi tuli karena pilihan kita sendiri. 

Masalah ini mengajarkan saya bagaimana menjadi orang yang terbiasa dengan gosip dan rumor, (terutama kalau gosip dan rumornya tentang diri saya sendiri). Saya belajar menerima dan saya bisa hidup tenang. Saya memilih menjadi tuli terhadap omong kotor dan tidak baik yang mengiringi perjalanan saya. Yah, anggap saja itu bagian dari perjalanan saya, misalnya angin kencang yang mau mengeringkan keringat di bagian ketiak. Sekencang-kencangnya angin itu menerpa, akhirnya akan berlalu juga. Kalau jatuh, kita punya pilihan untuk berdiri lagi (dan selama saya masih hidup, berdiri akan selalu jadi pilihan).

Kita tidak bisa mengontrol kata-kata yang akan dilontarkan dari orang lain, tapi kita bisa memilih untuk mendengarkannya atau tidak. Dengan menjadi tuli, saya telah memilih untuk bahagia. Hidup jauh lebih mudah. 'Kritik gratis' seperti itu membuat saya lebih bisa fokus memilih mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Juga pertanyaan-pertanyaan bingung macam 'ngapain sih pergi jauh-jauh ke Thailand?' bisa membuat saya sadar betapa berharganya hidup saya. 

Jadi, menjadi tuli itu mudah, cukup tunjukkan bahwa kita bahagia dengan pilihan yang sudah kita ambil. Apa saya bahagia? 

I'm trying :)

P.S:
Foto di atas dijadikan kenang-kenangan dari mahasiswa di Universitas tempat saya KPL. Fotonya dicetak, dibingkai, dan dihias cantik. Ketika menerima foto itu saya merasa puas. Saya memang tidak terlihat cantik atau imut, tapi saya terlihat bahagia. Saya memang bahagia, I had a good life when I was there. 

Oct 26, 2017

Oleh-oleh dari Perjalanan

Sebuah perjalanan selalu membawa sebuah pelajaran berharga tidak peduli berapa lama kita pergi. Salah satunya, tentang teman. Satu lagi ding, oleh-oleh. 

Teman yang pertama, mungkin yang paling bisa dibilang 'temenan' (jawa, artinya beneran), biasanya suka nanya kabar, nanya kondisi, nanya 'udah kangen rumah?' pake emote senyum licik, meskipun pertanyaan ini rasanya agak sedikit kurang ajar. Temen ini biasanya baik banget karena dia akan dengan senang hati membantu apa saja dan suka denger cerita dari yang ceria, bahagia, menyedihkan, sampai yang bikin muntah. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : 'apa aja boleh'.

Teman yang satunya, juga bisa disebut 'kadang bener kadang nggak' hehe, biasanya nggak suka nanyain kabar, nggak suka iseng-iseng personal chat. Tapi entah bagaimana kita tahu bahwa dia kangen. Nggak usah pake chat yang panjang dan cerewet, kadang cukup bales-balesan komen di sosial media. Sesekali ding curhat, biasa. Tapi nggak sering-sering banget asal cukup bikin kangen. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : 'apa aja boleh, tapi kalo bisa...'

Teman lain biasanya nggak nanya kabar, nggak nanya kondisi, tapi pas tau kita mau pulang biasanya tiba-tiba muncul dan nanya hal-hal yang berhubungan dengan hidup kita dalam perjalanan itu atau komen tentang apapun yang kita posting di sosial media. 'Apa kabar?', 'Eh itu apa sih?', 'Di Indonesia ada nggak?', 'Kok bisa gitu yah?' dan lain-lain. Kalo temen ini muncul, respon yang paling umum bisa kita berikan adalah 'Hmmm, tumben'. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : balik nanya 'Di sana apa yang bagus?' atau 'Eh bawain ini dong'.

Teman terakhir, yang ada di puncak daftar. Mereka nggak nanya kabar, nggak nanya kondisi, atau kadang iseng-iseng aja nanyain di grup chat. Nggak minta oleh-oleh juga. Eksistensi mereka antara ada dan tiada di hidup kita. Tapi ternyata mereka diam-diam ngomongin di belakang. Kadang nih ya, nggak ditanya mau oleh-oleh apa, tapi tiba-tiba bilang 'oleh-olehnya ya!'. Ntar kalo nggak dioleh-olehin, makin rame di belakang sana hehe.

Sebuah perjalanan mengajarkan saya banyak hal. Simply, belajar untuk menjadi teman yang baik di rumah ataupun di negara tujuan, untuk mengendalikan diri saya menghadapi orang lain dan mengendalikan postingan saya di sosial media, belajar menghargai orang baru dan nggak menyindir atau menyinyir tentang hidup mereka, belajar untuk nggak mencampuri hidup orang lain, dan belajar memaafkan.

Juga belajar untuk nggak bilang 'oleh-olehnya ya!' pada siapapun yang akan pergi. Karena jujur saja, 'hati-hati ya di sana' terdengar jauh lebih menyenangkan daripada 'oleh-olehnya ya!'.

Oct 23, 2017

Cintaku Padamu

Belum habis saya kulum sisa saus di jari-jari bekas tempelan sosis ayam dan tahu ikan, saya tergoda kenikmatan lain. Nikmat cinta yang (pasti) hakiki dari segi rasa dan warna.

Rasanya saya pernah tahu rasa ini. Ketika dekat harumnya manis, ketika jauh tampaknya menggoda. Persis seperti seseorang yang sempat menawarkan diri jalan-jalan dengan saya akhir tahun ini tapi mengakhiri kalimat dengan 'Insya Allah'.

Pas sekali hari itu saya sedang patah hati. Si mantan gebetan ternyata dekat dengan perempuan lain. Kata 'dekat' dalam konteks sebuah hubungan biasanya sulit untuk didefinisikan. Dekat bisa berarti tidak ada jarak fisik, tidak ada jarak secara rohani, atau tidak ada jarak secara keduanya. Tidak ada jarak secara rohani juga maknanya berbeda-beda. Ada yang berarti batin dua pecinta merasa saling memiliki, tapi secara fisik tidak bisa bersatu. Ada yang merasa terhubung secara hati tapi malu-malu mengungkapkan.

Seperti judul puisi, dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta.

Saya tahu diri, lalu undur diri dari hidupnya. Kembali hidup dengan apa yang ada. Tapi saya diam-diam masih bahagia, karena di ujung sana ada harum lain dan warna lain yang menggoda. Rasa ini lengkap dengan gurih santan kental yang tidak terlalu pekat dan renyah remah nasi ketan. Cinta saya waktu itu hakiki, bulat penuh. Setelah hati saya utuh lagi, saya deklarasikan cintaku padamu, Mango Sticky Rice.




*Catatan :
Mango Sticky Rice (nasi ketan mangga atau khao niao mamuangdi negara asalnya, Thailand, dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga 20 THB, jelas lebih murah daripada di kampung halaman saya, Malang. Rasanya beneran enak, dengan campuran potongan mangga yang manis, nasi ketan yang tidak terlalu keras dan rasanya manis-gurih, dan siraman kuah santan gurih yang agak kental. Bikin kenyang.

Oct 19, 2017

Halo, Chon.

Chon duduk senyam-senyum menatap ponselnya seperti gadis remaja baru dapat SMS dari pacar. Lalu saya datang dan bertanya, apa boleh saya duduk di sebelahnya? Dia diam sebentar sambil menerka apa maksud saya, kemudian dia paham dan menggeser pantatnya. Saya bawa nasi kuning dan ayam goreng plus kuah bawang. Chon menawarkan segelas jus jambu tapi saya tolak karena tak kuat asam.

Chon hanya diam sambil melihat saya makan. Ponselnya sudah tidak lagi dia raba. Saya tanya apa dia sudah makan, dia bilang sudah. Susah bicara padanya karena kadang dia tidak mengerti. Tapi Chon, saya paham kamu senang dapat teman baru. Pasti senang juga bisa bicara dalam bahasa asing dengan kami.

Tiap malam Chon ajak saya dan yang lain pergi jalan-jalan. Dia bilang makanan di pasar malam lebih enak daripada di kantin. Enak, murah lagi! Lain waktu kami suka duduk di kantin sambil tertawa bercanda. Pelan-pelan Chon mulai bisa bicara dalam bahasa saya. Dia mulai suka belikan kami marshmellow rasa stoberi dan kami pergi belanja di Tesco Lotus.

Lima minggu, sungguh berat rasanya meninggalkan rumah, tapi Chon dan teman-teman lainnya membuat segalanya lebih mudah. Chon sering menggeser meja-kursi besi di kantin agar kami bisa duduk ramai-ramai makan siang bersama. Atau kadang dia membonceng saya untuk makan pad thai di depan kampus, jauhnya sekitar 5 kilo dari asrama. Lalu balik lagi antar saya ke asrama. Kadang dia pulang lewat jam 10 malam karena kami suntuk di kamar. Chon, tidak capek? Dia geleng kepala. Senang, katanya. Astaga Chon, terlalu sering kamu membagi waktumu dengan kami agar kami tidak merasa sendiri.

Kindness is universal language. Chon, tidak apa kamu tidak bisa bicara, tapi kamu orang baik. Yang jahat adalah yang tanya 'apakah kamu laki-laki atau perempuan' atau 'apa kamu suka laki-laki atau suka perempuan'. Manusia kadang tidak bisa menahan diri, kami mencintai figur dan ingin tahu apakah kamu sempurna sebagai manusia. Chon sudah mendapati dirinya terjebak dalam pertanyaan itu tiap kali dia bertemu orang asing. Jadi Chon, saya akan coba menahan diri.

Chon pun tersenyum kembali seperti pada mulanya. Dasar senyum orang Thai, bahkan dalam pemakaman pun ada senyuman yang bisa dilempar sekali dua kali. Maaf ya Chon.. mai pen rai, na Chon? Mai pen rai.



*Mai pen rai, in Thai concept not only means 'it's okay' or  'never mind', but also means 'it's all fine and it will be' or 'never mind; this too shall pass' (Eric Weiner, 2015).

Sep 2, 2017

Tentang Nikah

Selamat menempuh hidup baru buat Mbak Ivro, mbak sepupuku, yang dulu suka tuker-tukeran lagu via bluetooth dan Mbak Ferdina, kakak kelas SMA, yang suka bilang 'Mei, lanjut ya belajar bahasa Jermannya!", semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian dan keluarga baru kalian xoxo

Dari dulu saya bisa dibilang late bloomer dalam hal percintaan. Saya yang paling telat punya pacar di antara teman-teman saya dan saya yang paling telat juga dapat undangan nikahan. Dari semester 3, temen-temen kuliah saya banyak yang cerita dapat undangan nikah dari sahabatnyalah, temennya SMP-lah, siapa lagi saya lupalah. Sampai-sampai sebulan ada kali dia 3 kali kondangan.

Undangan nikahan pertama yang ditujukan untuk saya itu dari Velin, temen SMP yang nikah tahun lalu. Saya nggak dateng pas nikahan Velin soalnya nggak ada temen ke tempat resepsinya. Setahun lebih kemudian baru saya dapat undangan nikahan lagi dari Mbak Ferdina. Kali ini saya nekat berangkat sendiri meskipun nggak tau tata cara ke kondangan (bawa buwuh berapa, pakaian yang pantes gimana, datang yang pas jam berapa). Untungnya di sana ketemu Mbak Mas jaman SMA dulu yang bisa dibarengi, walaupun akhir-akhirnya ditinggal juga soalnya mereka asik sendiri :')

Ketika di nikahan mbak Ferdina, lihat proses pengantin masuk ke dalam hall resepsi nikahan, saya jadi terharu. Bukan karena pengen, tapi lebih ke terpesona dengan sakralnya prosesi. Khidmat, semua mata tertuju ke kedua mempelai. Satu-satunya suara yang terdengar hanya dari MC yang mengiringi penganting, backsound lagu klasik, dan suara orang ambil foto. Waktu itu saya nyaris menitikkan air mata melihat prosesi sakral ini. Di sini saya tahu kalau nikahan yang bagus, MC-nya juga harus bagus. Acara lanjut ke salaman, foto-foto, 'ramah-tamah', pamitan, dan pulang.

Setelah itu saya mikir, well, someday I'd be on that place. Mungkin suatu saat nanti saya juga akan masuk ke dalam sebuah ruangan dengan seseorang (pasti laki-laki), dikelilingi kerabat dan keluarga, dilihat orang-orang yang kami undang. Semua bahagia, cara yang indah untuk memulai hidup baru. Sampai saya tahu bahwa pernikahan itu mengubah seseorang.

Bahkan seharusnya 'punya pacar' saja bisa mengubah seseorang. Kalau kita ambil contoh sederhana di jaman hidup tradisional dulu, kalau perempuan sudah mau dijodohkan saja hidupnya akan berubah. Seperti tokoh Nuraeni dalam novel Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan (btw, ini novel bagus loh!). Ketika dia sudah ada pacar, Nuraeni mulai menata diri. Dia nggak lagi ikut bapaknya bekerja di sawah, tapi dia mulai ikut ibunya di dapur. Dia mulai meninggalkan kegiatan anak-anaknya dan mulai ikut-ikut kegiatan perempuan, mulai belajar dandan, belajar menjaga diri dan sikap, dan merawat tubuh. Semua dilakukan karena dia sudah punya pacar dan akan menikah.

Ketika saya membaca paragraf ini saya cuma bisa duduk diam sejenak dan berpikir. Sebenernya mau di jaman modern sekarang pun harusnya juga seperti ini. Ketika sudah ada pacar yang serius, perempuan yang baik akan memperbaiki diri. Dandan, belajar masak, belajar mengurus rumah, dan belajar belajar belajar. Bukan untuk memposisikan dirinya lebih rendah daripada si suami, tapi karena perempuan punya andil besar dalam membangun 'rumah' bagi keluarga barunya.

Bukan berarti perempuan ga boleh kerja, cari duit, berpendidikan tinggi, tapi bayangkan kalau istri yang mengurus rumah bukan perempuan yang betah di rumah, yang egois dan mementingkan diri sendiri, yang sukanya beli makan di luar dan nggak bersihan. Mungkin sebenernya perempuan yang berpendidikan justru lebih tahu bagaimana bersikap dan bertindak dalam keluarga.

Menikah itu hidup berdua dan punya keluarga yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya diri sendiri yang disenengin tapi juga pasangan, mertua, orang tua, ipar, anak-anak, dan ponakan karena pada dasarnya membahagiakan orang lain yang kita sayang itu harusnya bikin kita bahagia juga.
Intinya sebagai pengingat untuk diri sendiri, nikah itu gede banget tanggung jawabnya.

Ketika mengingat kembali di pernikahan teman-teman saya, saya melihat bagaimana mereka menggandeng suami masing-masing dan melangkah mantap. Saya yakin temen-temen saya yang menikah sudah siap menerima perubahan yang akan mereka tanggung bersama suami atau istri masing-masing karena mereka nggak akan sendirian. Diam-diam saya malah merasa agak iri karena mereka bisa berubah menjadi lebih baik untuk menjalani masa depan baru mereka. Saya yakin mereka akan bahagia.

Oh, tolong jangan tanya saya kapan nikah. Saya masih sibuk *lanjut baca Lelaki Harimau*

Alasan aja karena pacarpun tak ada :')




Aug 29, 2017

Nggak Gini Caranya

Postingan lama ini harusnya udah saya post berbulan-bulan yang lalu. Tapi karena saya sibuk (alibi untuk kemalasan yang berlarut-larut) dan ada beberapa pertimbangan tentang isi post ini, saya yakin harus membagi cerita ini. Jadi beberapa bulan lalu saya diajak seorang kawan untuk ikut semacam seminar atau mungkin bisa dibilang pelatihan kerja. Dalam tanda kutip. Setelah acara 'pelatihan kerja' yang unik itu selesai, saya tahu pasti saya nggak mau bergabung.

Acara pelatihan itu agak berbeda, para pendatang baru sama sekali tidak diberi tahu informasi apapun sebelumnya tentang pekerjaan itu. Pas saya tanya ini acara apa, intinya mereka bilang 'udah ikut aja'. Hari itu saya datang ke sebuah rumah kecil, kami duduk di lantai, dan acara dimulai dengan sederhana. Awal-awalnya juga blur untuk saya, cuma cerita riwayat perusahaan dan 'jual beli produk'. Mungkin ada 30 menit saya masih ngga paham tentang tujuan perusahaan ini apa. Semakin lama semakin jelas. Menarik sih, tapi saya langsung pulang ketika mereka menutup acara itu, nggak mau ikut kumpul-kumpul. Selain karena acara itu selesai nyaris pukul 11 malam, saya punya beberapa alasan.

Alasan pertama saya menolak bergabung di sana adalah presentasi yang buruk. Mereka suka bertele-tele, tapi juga sangat suka menceritakan kisah mereka tentang kesuksesan. Nyaris semua cerita dimulai dengan "mahasiswa miskin" dan diakhiri dengan "bisa beli mobil dalam tempo 10 bulan". Cerita itu didramatisir dengan satire-satire, ditambah pula teriakan atau tepuk tangan tiba-tiba 'pegawai' dari bagian belakang. Oke, mungkin itu cara mereka memotivasi para pendatang baru, tapi bagi saya itu sangat tidak nyaman.

Alasan kedua: uang. Mereka sempat menceritakan proses dan waktu yang panjang mencapai milyaran rupiah itu. Dengan penekanan (atau pukulan di papan tulis pada setiap akhir kata 'dolar'), mereka sangat yakin bahwa angka fantastis itu bisa dicapai dengan cepat. Padahal kerjanya hanya merekrut, membina, merekrut, dan membina. Nyaris tidak membutuhkan keahlian apapun.

Saya pikir merekrut seseorang akan mudah, seperti asuransi. Pikiran itu bertahan sampai mereka berkata kami, para pendatang baru, wajib membeli produk yang harganya hanya hanya beberapa digit di bawah 10 juta rupiah. Dunia bisnis sudah mulai gila. Saya bahkan nggak butuh alat itu dan kalau mau gabung saya harus beli! Gimana pun caranya. 

Alasan ketiga : bagi mereka hampir semua pekerjaan selain pemilik perusahaan dan investor itu berada di taraf miskin. Pekerjaan seperti guru, dosen, pegawai negeri, pedagang, bahkan wiraswasta itu rawan gagal. Bangkrut. Saya cukup senyum sinis ketika mereka tanya apakah dosen kami yang paling kaya sekalipun mengendarai Alphard ke kampus? Tidak! Tidak ada dosen yang bawa mobil mewah ke kampus, dosen itu tidak makmur.

Benar. Tidak ada dosen bawa mobil mewah ke kampus. Dosen-dosen itu hanya bawa motor bebek, motor matic, mobil avanza, atau yaris dan jazz yang mungkin dibelinya beberapa tahun lalu. Tapi mungkin kita tidak tahu kalau dosen-dosen ini punya andil besar dalam masyarakat. Misalnya punya sekolah yang didirikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak ekonomi menengah ke bawah, punya rumah sakit, penulis puluhan buku, mungkin juga aktivis lingkungan. Mereka tidak punya waktu untuk beli atau merawat Lamborghini, rumah mereka mungkin sederhana, bukan rumah megah dengan lampu kristal dan hall untuk makan malam bersama.

Alasan keempat : Mereka menjelaskan bahwa kewajiban kami akan berhenti setelah mendapatkan 6 orang. Jadi kami akan membina mereka, 'bekerja sama', lalu uang akan datang dengan sendirinya. Tapi bagaimana kami bekerja? Apa yang bermanfaat untuk kami dan untuk orang lain? Apa spesialisasi kami akan meningkat? Saya nggak paham benar. Memang enak ya bekerja begitu, duduk diem-diem, eh rumah udah lunas, tinggal pelesir ke Maldives sebulan dua kali, atau berangkat umroh tiap tiga bulan. Sebenernya ini jadi iming-iming terbesar kenapa orang mau bergabung dan ya jujur saja, saya tergoda. Tapi ketika kewajibannya itu meminta orang lain beli barang yang nggak mereka butuhkan dengan harga yang nggak murah, mending saya mundur aja.

Alasan terakhir, alasan yang benar-benar membuat saya geleng-geleng kepala : arogan dan terlalu percaya diri memang beda tipis. Mereka menyatakan akan membuat kami semua kaya raya, sukses, berani bermimpi punya mobil Alphard. Kemudian mereka tanya 'siapa di antara kami yang akan nekat mendapatkan uang nyaris 10 juta itu untuk bergabung dengan mereka dan membuktikan ucapan mereka', saya menolak angkat tangan. Mereka mendoakan saya miskin sampai ahli waris. Tersentuh saya, bewildered, tapi tetap menolak angkat tangan. Udah hilang respek saya. 

Saya ingat mereka bilang 'ayo kita lihat, 4 tahun lagi siapa yang beli alphard duluan? Saya atau mereka yang tidak bergabung malam ini'. Ga tau deh, buat saya sukses bukan hanya tentang punya Alphard, punya ribuan dollar di buku tabungan, punya rumah tingkat 3 dengan landasan helikopter di atapnya. 

Mending saya ingat kata dosen saya yang cuma bawa mobil tua ke kampus : bekerjalah karena kamu tahu pekerjaan ini membawa manfaat buat kamu dan banyak orang. Bekerjalah karena pekerjaan itu membawa kebahagiaan padamu dan banyak orang di sekitarmu. Kita nggak hidup sendiri, tapi juga ada orang lain. Jangan pikirkan berapa uang yang akan kamu hasilkan, manusiawi memang kalau kita nggak akan pernah merasa cukup dengan uang. Buka koneksi, lihat kesempatan, asah softskill dan hardskill, jadilah berguna untuk banyak orang, bahkan kalau bisa untuk bangsa dan negara, uang akan datang dengan sendirinya.

Sukses itu butuh pengorbanan. Cara orang berkorban beda-beda juga. Ada yang kuliah tinggi-tinggi (biaya kuliah mahal, cyin), ada yang mending langsung kerja aja nggak nerusin kuliah, ada yang merantau jauh sampai jadi TKW ke Arab, ada yang jual rumah jual emas buat modal usaha, ada yang rela kerja keras tapi di tahun pertama cuma dibayar 100 ribu, dan seperti si Mas, pengorbanannya mau beli produk mahal dan mengajak orang lain untuk bergabung. Pengorbanannya beda karena buat mereka definisi sukses juga beda-beda. Nggak semua orang harus punya Alphard untuk bahagia. Jadi tolong Mas, cukup doakan yang baik-baik aja. 

Lagipula bukankah Tuhan sudah menjamin rezeki setiap makhluk yang berjalan di atas bumi? Bagi sebagian kita rezeki itu akan dilapangkan dan yang lainnya akan disempitkan. Kita hanya harus berusaha dan pandai-pandai bersyukur saja. Asal mau usaha, saya yakin kita nggak akan jadi miskin-miskin amat. Jadi, Mas, mohon maaf, semua orang pasti mau kaya, tapi buat saya nggak gini caranya. Bahagiamu bukan bahagiaku ya, Mas, biar aja saya miskin bagimu. Selamat menikmati kekayaan masing-masing, pokoknya jangan sampai miskin hati dan akal :)