Labels

Oct 26, 2017

Oleh-oleh dari Perjalanan

Sebuah perjalanan selalu membawa sebuah pelajaran berharga tidak peduli berapa lama kita pergi. Salah satunya, tentang teman. Satu lagi ding, oleh-oleh. 

Teman yang pertama, mungkin yang paling bisa dibilang 'temenan' (jawa, artinya beneran), biasanya suka nanya kabar, nanya kondisi, nanya 'udah kangen rumah?' pake emote senyum licik, meskipun pertanyaan ini rasanya agak sedikit kurang ajar. Temen ini biasanya baik banget karena dia akan dengan senang hati membantu apa saja dan suka denger cerita dari yang ceria, bahagia, menyedihkan, sampai yang bikin muntah. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : 'apa aja boleh'.

Teman yang satunya, juga bisa disebut 'kadang bener kadang nggak' hehe, biasanya nggak suka nanyain kabar, nggak suka iseng-iseng personal chat. Tapi entah bagaimana kita tahu bahwa dia kangen. Nggak usah pake chat yang panjang dan cerewet, kadang cukup bales-balesan komen di sosial media. Sesekali ding curhat, biasa. Tapi nggak sering-sering banget asal cukup bikin kangen. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : 'apa aja boleh, tapi kalo bisa...'

Teman lain biasanya nggak nanya kabar, nggak nanya kondisi, tapi pas tau kita mau pulang biasanya tiba-tiba muncul dan nanya hal-hal yang berhubungan dengan hidup kita dalam perjalanan itu atau komen tentang apapun yang kita posting di sosial media. 'Apa kabar?', 'Eh itu apa sih?', 'Di Indonesia ada nggak?', 'Kok bisa gitu yah?' dan lain-lain. Kalo temen ini muncul, respon yang paling umum bisa kita berikan adalah 'Hmmm, tumben'. Kalo ditanya mau oleh-oleh apa? Jawaban standar : balik nanya 'Di sana apa yang bagus?' atau 'Eh bawain ini dong'.

Teman terakhir, yang ada di puncak daftar. Mereka nggak nanya kabar, nggak nanya kondisi, atau kadang iseng-iseng aja nanyain di grup chat. Nggak minta oleh-oleh juga. Eksistensi mereka antara ada dan tiada di hidup kita. Tapi ternyata mereka diam-diam ngomongin di belakang. Kadang nih ya, nggak ditanya mau oleh-oleh apa, tapi tiba-tiba bilang 'oleh-olehnya ya!'. Ntar kalo nggak dioleh-olehin, makin rame di belakang sana hehe.

Sebuah perjalanan mengajarkan saya banyak hal. Simply, belajar untuk menjadi teman yang baik di rumah ataupun di negara tujuan, untuk mengendalikan diri saya menghadapi orang lain dan mengendalikan postingan saya di sosial media, belajar menghargai orang baru dan nggak menyindir atau menyinyir tentang hidup mereka, belajar untuk nggak mencampuri hidup orang lain, dan belajar memaafkan.

Juga belajar untuk nggak bilang 'oleh-olehnya ya!' pada siapapun yang akan pergi. Karena jujur saja, 'hati-hati ya di sana' terdengar jauh lebih menyenangkan daripada 'oleh-olehnya ya!'.

Oct 23, 2017

Cintaku Padamu

Belum habis saya kulum sisa saus di jari-jari bekas tempelan sosis ayam dan tahu ikan, saya tergoda kenikmatan lain. Nikmat cinta yang (pasti) hakiki dari segi rasa dan warna.

Rasanya saya pernah tahu rasa ini. Ketika dekat harumnya manis, ketika jauh tampaknya menggoda. Persis seperti seseorang yang sempat menawarkan diri jalan-jalan dengan saya akhir tahun ini tapi mengakhiri kalimat dengan 'Insya Allah'.

Pas sekali hari itu saya sedang patah hati. Si mantan gebetan ternyata dekat dengan perempuan lain. Kata 'dekat' dalam konteks sebuah hubungan biasanya sulit untuk didefinisikan. Dekat bisa berarti tidak ada jarak fisik, tidak ada jarak secara rohani, atau tidak ada jarak secara keduanya. Tidak ada jarak secara rohani juga maknanya berbeda-beda. Ada yang berarti batin dua pecinta merasa saling memiliki, tapi secara fisik tidak bisa bersatu. Ada yang merasa terhubung secara hati tapi malu-malu mengungkapkan.

Seperti judul puisi, dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta.

Saya tahu diri, lalu undur diri dari hidupnya. Kembali hidup dengan apa yang ada. Tapi saya diam-diam masih bahagia, karena di ujung sana ada harum lain dan warna lain yang menggoda. Rasa ini lengkap dengan gurih santan kental yang tidak terlalu pekat dan renyah remah nasi ketan. Cinta saya waktu itu hakiki, bulat penuh. Setelah hati saya utuh lagi, saya deklarasikan cintaku padamu, Mango Sticky Rice.




*Catatan :
Mango Sticky Rice (nasi ketan mangga atau khao niao mamuangdi negara asalnya, Thailand, dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga 20 THB, jelas lebih murah daripada di kampung halaman saya, Malang. Rasanya beneran enak, dengan campuran potongan mangga yang manis, nasi ketan yang tidak terlalu keras dan rasanya manis-gurih, dan siraman kuah santan gurih yang agak kental. Bikin kenyang.

Oct 19, 2017

Halo, Chon.

Chon duduk senyam-senyum menatap ponselnya seperti gadis remaja baru dapat SMS dari pacar. Lalu saya datang dan bertanya, apa boleh saya duduk di sebelahnya? Dia diam sebentar sambil menerka apa maksud saya, kemudian dia paham dan menggeser pantatnya. Saya bawa nasi kuning dan ayam goreng plus kuah bawang. Chon menawarkan segelas jus jambu tapi saya tolak karena tak kuat asam.

Chon hanya diam sambil melihat saya makan. Ponselnya sudah tidak lagi dia raba. Saya tanya apa dia sudah makan, dia bilang sudah. Susah bicara padanya karena kadang dia tidak mengerti. Tapi Chon, saya paham kamu senang dapat teman baru. Pasti senang juga bisa bicara dalam bahasa asing dengan kami.

Tiap malam Chon ajak saya dan yang lain pergi jalan-jalan. Dia bilang makanan di pasar malam lebih enak daripada di kantin. Enak, murah lagi! Lain waktu kami suka duduk di kantin sambil tertawa bercanda. Pelan-pelan Chon mulai bisa bicara dalam bahasa saya. Dia mulai suka belikan kami marshmellow rasa stoberi dan kami pergi belanja di Tesco Lotus.

Lima minggu, sungguh berat rasanya meninggalkan rumah, tapi Chon dan teman-teman lainnya membuat segalanya lebih mudah. Chon sering menggeser meja-kursi besi di kantin agar kami bisa duduk ramai-ramai makan siang bersama. Atau kadang dia membonceng saya untuk makan pad thai di depan kampus, jauhnya sekitar 5 kilo dari asrama. Lalu balik lagi antar saya ke asrama. Kadang dia pulang lewat jam 10 malam karena kami suntuk di kamar. Chon, tidak capek? Dia geleng kepala. Senang, katanya. Astaga Chon, terlalu sering kamu membagi waktumu dengan kami agar kami tidak merasa sendiri.

Kindness is universal language. Chon, tidak apa kamu tidak bisa bicara, tapi kamu orang baik. Yang jahat adalah yang tanya 'apakah kamu laki-laki atau perempuan' atau 'apa kamu suka laki-laki atau suka perempuan'. Manusia kadang tidak bisa menahan diri, kami mencintai figur dan ingin tahu apakah kamu sempurna sebagai manusia. Chon sudah mendapati dirinya terjebak dalam pertanyaan itu tiap kali dia bertemu orang asing. Jadi Chon, saya akan coba menahan diri.

Chon pun tersenyum kembali seperti pada mulanya. Dasar senyum orang Thai, bahkan dalam pemakaman pun ada senyuman yang bisa dilempar sekali dua kali. Maaf ya Chon.. mai pen rai, na Chon? Mai pen rai.



*Mai pen rai, in Thai concept not only means 'it's okay' or  'never mind', but also means 'it's all fine and it will be' or 'never mind; this too shall pass' (Eric Weiner, 2015).