Labels

Jan 31, 2018

Akhir

31 Januari

Mantan kekasihku hadir dalam mimpi untuk mengucapkan selamat tinggal.

Kaus putihnya tidak berubah. Celana panjang warna khakinya masih sama. Sepatu hitam dengan tali warna putih juga. Rambutnya yang berantakan seperti baru bangun tidur warna coklat terang dan jambang tipis yang selalu kularang potong. Ah bahkan warna matanya masih hijau abu-abu.

Sayang, aku pernah rindu. Dulu. Lalu aku lupa.

Dalam kamar sempit itu aku melihat mantanku sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam dua tas punggung yang berbeda. Setiap pakaian yang masuk adalah satu kenangan tentang hari-hari kami yang entah harus diapakan setelah ini. Semuanya ada 1825.

Yang menyedihkan dari sebuah perpisahan bukan perpisahan itu sendiri, tapi apa yang terjadi setelahnya.

Jadi Sayang, kenapa kamu datang sekarang? Aku sudah tidak suka buka-buka Whatsapp untuk cari nomor kamu atau berharap dua centang itu berubah biru. Sayang, sudah setahun. Aku sudah pandai menyendiri sekarang.

Dan dia berhenti. Kini ia duduk di depanku. Tangannya menggenggam tanganku, matanya menatap mataku, tapi hatinya tidak di sana untukku. Aku menekuri bagian dadanya yang tidak lagi bergerak dan aku nanar, nyaris berurai air mata. Ia bicara padaku dengan suara itu, suara mantanku yang masih sama.

"Setahun lalu aku jatuh cinta."

Seorang anak kecil muncul memegang pundaknya. Wajahnya mirip dengan mantanku tapi warna rambutnya hitam. Little Leon. Anak-anakkan kami yang dulu suka jadi pelipur lara ketika kami ragu tentang masa depan. Buah mimpi, bukan cinta.

Kami kuburkan Little Leon dalam sebuah peti bersama satu tas yang tadi mantanku isi dengan pakaiannnya. Entah berapa jumlahnya, tapi itulah kenangan yang dipilih mantanku untuk mati terkubur bersama Little Leon. Little Leon tertawa bahagia, peti ditutup, dan apa yang kulihat di depanku kini adalah reruntuhan. Rumah-rumahan kami yang dulu suka jadi naungan ketika kami tidak punya tempat untuk berlindung.

Bagian ini seperti sebuah adegan di film dan kelanjutannya seperti bagian cerita sebuah novel yang kubaca setelah kami berpisah. Film dan buku yang agaknya berhubungan tapi tidak berkaitan.

Kami saling menatap mata lagi, menggenggam lagi, dan mengaku. Ah, sayang, aku juga ingin mengecup pipi dan bibirmu seperti dalam mimpi-mimpi kita yang dahulu. Bahkan sampai sekarang pun, keduanya tidak berubah.

"Setahun lalu aku jatuh cinta, padamu", katanya. "Sekarang aku akan pulang."

Ia kenakan tas punggungnya dan naik ke atas motor. Entah kenapa dalam mimpi mantanku naik motor. Aku tidak mencegahnya, tapi sebelum mantanku melaju, aku tahu aku bicara padanya,

"Sayang, yang kamu katakan tadi, benar 'kan?"

"Iya, tapi 4 tahun sebelumnya aku tidak mencintaimu."



Jan 29, 2018

Mulailah dengan Melantur

Malam itu semua orang sudah tidur kecuali dua remaja perempuan yang nyaris tersirep tapi masih kukuh dalam obrolan tentang makanan.

"Iyaaaa... jadi.. mangkok mie ayamnya dibor gitu."
"Ha? Kok dibor?"
"EH ANU MAKSUDNYA DIBUANG!"
"Ehehehehehehe."

Lalu mereka jatuh tertidur setelah mangkok mie ayamnya dibor, eh dibuang.

Sekarang bayangkan jika kita harus terlibat pembicaraan serius di saat kita tidak lagi tersirep. Misalnya pembicaraan tentang isi hati yang ingin disampaikan seorang laki-laki pada gebetannya yang nyaris tidak peduli.

"Jadi tadi aku nelen permen karet gitu di sekolah, Mas."
"aku suka deh sama kamu."
"Lah? Kenapa?"
"gapapa, suka aja.."
"Ih aku suka banyak hal lain sih mas"
"ANJIR ITU TADI ANU, HAPEKU DIBAJAK TEMEN NIH!"
"..."
"Jadi gimana, kok bisa nelen permen karet?"

Ketika ditolak, mulailah melantur.

Permisalan yang lain adalah ketika ada guru yang menemukan bahwa kita dan teman-teman lebih suka main UNO di barisan belakang daripada menyelesaikan persamaan kuadrat.

"Berapa hasilnya anak-anak?"
"Heeeeee itu jadinya plus berapa?"
"+12 totalnya hahahahahaha"
"Berapaaaaaa?"
"+12!"
"+12? Bener apa salah? Kok bisa? Itu yang di belakang lagi apa?"
"Bener Bu! Sekitaran itu lah hasilnya, ini kami lagi ngitung ulang. Itu soalnya bener kan ya Bu?"

Ketika terciduk, mulailah melantur.

Contoh lain mungkin ketika kita iri tapi nggak ingin orang lain tahu.

"Eh kemarin kami pergi ke konser Via Vallen loh, ampun bagus banget deh suaranya waktu live"
"Iya nyesel banget pasti kamu nggak ikut kan?"
"Nggak juga sih, aku ga suka Via Vallen lagian."
"Lah katanya kamu fans berat dia, gimana sih?"
"Eh minggu depan aku mau ke Semarang nih main-main di Lawang Sewu, mau ikut nggak?"

Ketika ketahuan, mulailah melantur.

Atau ketika ketahuan sesuatu yang lain...

"Mbaaaaak, kamu yang makan cilok aku di kulkas, kan? Kamu kaaaan?"
"Nggaklah, ngapain coba?"
"Kan kamu yang pertama kali buka kulkas pas udah sampe rumah, pasti mbak!"
"LUCUUUUU DEH BAJUNYA DI OLSHOP INI, LIAT DEH!"

Ketika dicurigai, mulailah melantur.

Seperti yang dilihat, mengungkapkan sebuah kebenaran, mengakui sesuatu, atau menghindar dari sebuah kesalahan itu tidak mudah. Juga sebenernya tidak selalu berakhir baik, tapi kadang itu dilakukan untuk menghindari pertikaian dan perpecahan. Mulailah dengan melantur.

Jadi, kapan kamu mau mulai bilang sayang sama aku? Aku siap melantur.


*on a collaborative work with Celina about 'How to Start Something'

Jan 27, 2018

Reliving Thai (Food)

*drum rolls meskipun ini sudah lewat awal tahuuuuun*

Aight peeps, let's do this. Karena saya tidak mau kalah dengan sahabat cantik saya yang kini jauh di sana dan perjanjian suci untuk collab dengannya, liat dia di sini nih : si cantik Celina <3

Topik 'highlighting 2017' saya sebenernya nggak spesial-spesial banget sih, biasa aja. Sampai saya ingat tentang hidup saya yang warbiyasah enak di Thailand, terutama karena makanannya. Jadi saya pengen 'reliving 2017 memories' lewat makanan Thai.

Oh btw this is gonna be a long thread, jadi bersabarlah.

Awalnya, saya kasih tau nih, di Thailand hidup saya memang amat sangat memahasiswa, you know what I mean. Saya harus ingat-ingat tujuan saya ke sana itu bukan sekadar main-main dan jalan-jalan aja jadi saya harus pinter ngatur keuangan. Selama dua bulan saya sukses survive (tanpa ambil uang di ATM) hanya dengan uang cash sejumlah 10.000 baht (dengan kurs saat itu sekitar 4 juta).

Dengan uang itu saya juga bisa pergi ke Koh Samui, Koh Rat, Ban Khiriwong. jalan-jalan ke mall, sampai ke Penang, Malaysia. Sangat sulit menahan diri nggak jajan dan beli barang-barang lucu yang ada di sana, secara di sana ada banyak snack, bahan masakan dan makanan, benda-benda lucu macam ATK, baju, aksesoris, dompet, kaos kaki, sampai peralatan make-up yang sulit dicari di Indonesia.

But I survived. Semua karena.... pasar malam hadir mengubah segalanya menjadi lebih indah. Pasar malam ini yang membantu saya hidup dengan tenteram dan aman karena banyak makanan enak dan harga yang cukup murah di sini. FYI, pasar ini nggak ada setiap malem dan tempatnya pindah-pindah. Foto-foto di bawah ini diambil di pasar Senin, pasar malem yang ada di dalam kampus (tepatnya deket asrama-asrama dan gedung aktivitas mahasiswa, strategis banget bukan?) dan ada pada hari Senin yang nggak libur. Jadi kalau liburan ya pasarnya tutup, meskipun ada mahasiswa yang tetep tinggal di asrama waktu itu.




Pasar ini selalu saya tunggu-tunggu karena hampir pasti saya akan menggelontorkan uang macam orang kalap dan memaafkan diri sendiri setelahnya. Ada lagi pasar lain dan ada pas weekend tapi mungkin saya hanya beberapa kali pergi ke sana karena males, jauh banget dari asrama.

Bicara pasar, bicara makanan. Nyaris 75%-100% uang saya di pasar habis untuk makanan. Sisanya, 25%, cuma untuk kaos kaki lucu gambar totoro warna pink, satu lagi gambar panda, dan satu lagi gambar kucing warna biru. Tapi makanan adalah obsesi pertama saya. 

Tom Yum Goong adalah salah satu makanan Thailand pertama saya. Sebelumnya saya nggak pernah makan tom yum. Well, kalau indomie rasa tom yum dulu sudah cukup legit dianggap makanan Thai, berarti pernah. Anyway, saya akhirnya melihat rupa dan merasakan tom yum goong. Pertama kalinya juga dalam hidup, saya melihat udang segede nyaris sekepalan tangan, 4 ekor di dalam panci. Tuhan Maha Besar. Sayang saya malu mengabadikan momen ini karena selain takut dianggap norak, saya makan dengan dosen-dosen yang sangat saya hormati. 

Dalam perkembangan hidup saya di Thailand, saya menemukan fakta bahwa tom yum bukan cuma goong (udang), tapi juga ayam. Namanya jadi Tom Yum Kai dan harganya lebih murah. Satu piring nasi, satu mangkok kecil tom yum ayam jamur, dan satu lauk lain harganya 25 baht (10k) aja. Dan itu banyaaaaak banget sampe kadang jatah makan siang saya itu takmasukkan ke kotak bekal untuk simpenan makan malam. Meskipun malemnya ya beli makan lagi ehehehe.

Nasi, Tom Yum Kai, dan keong
Tom Yum mengingatkan saya tentang pantai yang tenang di sebuah restoran hari pertama saya menginjakkan kaki di the country of smiles itu dan meredakan rasa sedih saya yang jauh dari rumah. Atau obrolan yang sangat sulit dilakukan karena kendala bahasa, tapi tetap terasa menyenangkan di kantin dengan mahasiswa lokal. Juga ibu-ibu Melayu yang berteriak 'Adeeeek! Makan?' setiap melihat saya dan teman-teman muncul di antara keramaian. Beliau langsung mengambil piring, melihat saya, seakan tahu saya akan pesan Tom Yum Kai. Tom Yum is the feeling of being understood. 

Berikutnya, Kwetiau (dalam ini saya akan sebut bakso Thailand untuk membedakannya dengan Pad Thai, kwetiau goreng). Makanan ini setan bener deh. Ini makanan yang memberi saya pengalaman sakit perut luar biasa dan perasaan rindu rumah yang kurang ajar. Pertama kali lihat makanan ini saya seneng banget karena akhirnya saya makan bakso juga. Penampakannya kurang lebih seperti ini :

ini namanya kwetiau
Saya lahap sekali makan kwetiau, rasanya lumayan kaya bakso di Indonesia cuma micinnya lebih sedikit. Makanan ini biasanya saya campur cabe bubuk dan gula (iya bener gula pasir), tapi sebenernya ada banyak pilihan, misalnya sambel ikan, chili pasta, garam, dan lain-lain. Habis makan saya kena diare, tapi nggak kapok, dong. Besok-besoknya saya beli kwetiau di lapak lain. Tiga kali makan efeknya sama, buang air berlebihan tapi lama-lama efeknya berkurang. Semakin sedikit efeknya, semakin banyak saya menambahkan cabe bubuk. 

Kwetiau ini mengurangi rasa sakit hati saya atas nasi goreng keasinan yang saya makan di restoran pinggir jalan pas otw pulang dari Koh Samui ke Nakhon si Thammarat. Karena itu, saya memaksa diri saya makan makanan ini meskipun efek bagi perut kurang baik. Kwetiau ini homesick healer, penyemangat makan dan hidup macam mie setan lvl 10.

Selanjutnya, Pad Thai atau kwetiau goreng. Sayangnya, cuma sekali-dua kali saya makan Pad Thai di Thailand karena warung yang katanya Pad Thai-nya enak adalah warung yang menjual makanan non-halal. Tapi akhirnya saya makan Pad Thai di sebuah tempat lesehan pinggir jalan, yang tempatnya mengingatkan saya pada abang-abang penjual nasi goreng di pinggir jalan yang ramai dan pembelinya makan sambil lesehan di trotoar waktu saya masih umur 3 tahun. Persis. Pad Thai yang saya makan di situ harganya agak mahal, 50 baht, karena isinya campur-campur (ayam, keong, dan udang). Sayang juga saya nggak dapat fotonya karena makan di luar itu gelap banget dan saya terlalu malu pakai flash.

'Pad Thai' berikutnya saya temukan di pasar kota. Saya bener-bener takjub banget dengan 'Pad Thai' satu ini karena cara penyajiannya beda. Saya sampai nggak yakin ini Pad Thai tapi karena sama-sama mie dan digoreng, yah.. well. Oke, jadi ada beberapa bahan makanan yang jadi side dish, misalnya wortel, timun, tauge, cabe, sampai kembang-kembangan yang saya nggak tahu itu apa tapi rasanya enak.

  


Dan cara makannya begini, di atas pelepah jantung pisang. Warbiyasah. Masih gedean tangan saya daripada pelepah jantung pisangnya. Makanan ini secara mengejutkan enak dan muraaah (lupa sih sebenernya, kayaknya 20 baht atau 15 baht).


Tapi ada 'Pad Thai' enak di luar Thailand, dengan asumsi Pad Thai adalah kwetiau goreng. Makanan ini dijual oleh seorang ibu asal Medan di Penang, Malaysia.

enaaaaaaaaak banget sungguh
'Pad Thai' ini dibuat dengan keramahan khas orang Indonesia. Rasa rumah. Pad Thai selalu mengingatkan saya tentang malam di Thailand yang hampir setiap hari saya habiskan di luar kamar. Entah sekadar nongkrong atau jalan-jalan yang luar biasa capek di Penang tapi senang. Pad Thai is like that one nice feeling that creeps up into your head and heart in the end of the day no matter how tired or upset you are that day.

Okay this one would be cliche. Makanan ini mengingatkan saya tentang hari-hari di Thailand yang penuh dengan beragam perasaan. Tapi kalau dirasa dan dipikirkan, kayaknya kita bisa lihat warna-warna yang muncul di kepala. Say hi to Nasi Kerabu.


Mhm, nasinya warna ungu dan yang kalian lihat di gambar, semua warna itu 100% alami tanpa bahan pewarna tekstil. Pas saya cek di google harusnya warna biru sih nasinya tapi buat saya ungu juga masih bisa berterima kok. Rasanya seperti sajiannya yang bercampur. Tidak seperti urap-urap, nasi ini penuh sayuran yang lebih beda-beda lagi dan rasanya saling ditubrukkan. Wortel + tauge + kol ungu + mangga muda + nasi ungu + bubuk ikan. I gave up on the bean sprouts karena ga kuat dengan rasanya, entah kenapa rasa tauge Thailand itu lebih nendang dari tauge di rumah. Selain ukurannya lebih besar, taugenya punya rasa yang sangaaaat kuat.

Nasi Kerabu ini konon aslinya makanan dari Malaysia. Kebetulan yang jual sebenernya temen sekaligus mahasiswa kami yang belajar bahasa Indonesia dengan latar belakang Melayu. Namanya mas Irfan. Mas Irfan ini biasanya jualan Nasi Kerabu di pasar Senin atau pasar depan Lotus Tha Sala, Nakhon si Thammarat. Jaminan enak, bukan karena temen atau apa, tapi emang beneran enak kok! xD

Nah, kalau makanan paling ekstrem yang pernah saya coba mungkin ini.


Saya nggak yakin itu apa tapi sepertinya ulat, mungkin kalau di Indonesia hampir mirip ulat sagu. Saya nggak akan memperpanjang bagian ini karena sempat muncul pertanyaan apakah *boleh* dimakan atau nggak dan 'kenapa mau makan begituan?'. Jawabannya, pertama, saya penasaran. Kedua, saya nggak mau membatasi diri pada hal baru yang tabu dan nggak melibatkan orang lain kecuali diri saya sendiri. Ketika itu saya berdiri cukup lama di depan lapak penjual makanan 'nggak biasa' ini dan bolak-balik mondar-mandir karena saya terkesima dengan apa yang saya lihat secara langsung (dulu cuma tau di TV): ulat dan serangga lain yang sebenernya kaya akan protein.

Karena saya udah di sana, sekalian aja yakan? Udah basah, sekalianlah mandi. Udah ngeliatin dagangan orang dan diliatin yang punya dagangan, ya masa ga beli. Akhirnya saya beranikan diri beli, 10 baht. Atas bantuan seorang teman, saya berhasil mendapatkan mixed insects. Diramu dengan daun jeruk dan bumbu-bumbuan lain, rasanya sebenernya mirip kacang yang kenyal dan crunchy dari bagian kulitnya. Meskipun setelah itu saya nggak pernah beli lagi, setidaknya saya bisa mencatat ini sebagai sebuah pencapaian karena telah menguji diri saya sampai di titik 'hyeeeek' yang maksimal dan pada akhirnya, mengatasinya. 

Berikutnya, snack favorit yang paling favorit. My number 1. Ada dua sih. Take a look at these babies.

 

Pertama, Mango Sticky Rice (Khao Niao Mamuang). My love...
Saya pernah menulis tentang ini sebelumnya, deh. Tentang cinta saya yang pupus lalu terganti oleh Khao Niao Mamuang. Hmm, makanan ini bisa bikin saya patah hati juga sih gara-gara tiap mau beli pasti udah habis duluan dan akhirnya saya pulang dengan agak sedikit dongkol membayangkan rasa mangga yang manis, bercampur dengan nasi ketan dan kuah santan kental yang gurih. Nikmat Tuhan mana yang berani saya dustakan?

Kedua, cintaku yang lain, Thong Yot atau Gold Egg-Yolk Drops. Penjelasan tentang makanan ini bisa dibaca di wikipedia karena sebagai penikmat, saya kurang paham dengan sejarah panjang makanan ini.


Saya melihat makanan ini di suatu sore yang cerah, sedang dikerubungi lebah (yang awalnya saya kira lalat besar). Ibu penjual memperbolehkan saya mencoba, sebuah keuntungan menjadi 'orang asing' di luar negeri. Lalu saya memutuskan beli lumayan banyak. Rasanya manis sekali, saking manisnya muncul rasa pahit sedikit, tahu kan rasa yang begitu? Kalau ditekan di antara lidah dan langit-langit, ada rasa seperti madu yang keluar dan tekstur lembut yang lucu dari makanan ini. Entah itu madu atau gula atau sirup. Inilah alasan ada rasa manis-pahit yang muncul dan makanan ini dikerubungi lebah.

Aneh memang, tapi dua makanan ini yang paling saya suka. Mungkin karena setiap saya makan Khao Niao Mamuang dan Thong Yot ada perasaan bahagia seperti orang jatuh cinta. Rasanya seperti duduk dengan orang yang kita suka dan mendengarkan dia bicara tentang banyak hal. Tulus, manis, dan menggembirakan.

Pada akhirnya banyak makanan lain yang tidak bisa saya foto satu-satu karena saya terlalu sibuk merayakan hidup. Misalnya kerupuk ikan Narathiwat yang belum saya temukan bandingannya dengan kerupuk ikan di Indonesia, kerupuk yang mengingatkan saya tentang kebaikan orang Thai. Ada juga biskuit *nggak boleh sebut merk* rasa kiwi-apel yang belum beredar di Indonesia, Som Tam yang awalnya aneh di mulut tapi lama-lama bikin nagih, Thai tea yang disajikan dalam gelas plastik segede mangkok, buah-buahan aneka ragam dan disajikan sedemikian rupa, marshmellow murah yang enak buanget, sampai street food macam cilok, sosis, dan tempura yang sulit dijumpai di Malang. Masih banyak lagi, tapi highlightnya cukup sampai sini dulu.

Pada akhirnya juga saya bahagia dan bersyukur. Sungguh, tidak ada dusta.