Labels

Aug 29, 2017

Nggak Gini Caranya

Postingan lama ini harusnya udah saya post berbulan-bulan yang lalu. Tapi karena saya sibuk (alibi untuk kemalasan yang berlarut-larut) dan ada beberapa pertimbangan tentang isi post ini, saya yakin harus membagi cerita ini. Jadi beberapa bulan lalu saya diajak seorang kawan untuk ikut semacam seminar atau mungkin bisa dibilang pelatihan kerja. Dalam tanda kutip. Setelah acara 'pelatihan kerja' yang unik itu selesai, saya tahu pasti saya nggak mau bergabung.

Acara pelatihan itu agak berbeda, para pendatang baru sama sekali tidak diberi tahu informasi apapun sebelumnya tentang pekerjaan itu. Pas saya tanya ini acara apa, intinya mereka bilang 'udah ikut aja'. Hari itu saya datang ke sebuah rumah kecil, kami duduk di lantai, dan acara dimulai dengan sederhana. Awal-awalnya juga blur untuk saya, cuma cerita riwayat perusahaan dan 'jual beli produk'. Mungkin ada 30 menit saya masih ngga paham tentang tujuan perusahaan ini apa. Semakin lama semakin jelas. Menarik sih, tapi saya langsung pulang ketika mereka menutup acara itu, nggak mau ikut kumpul-kumpul. Selain karena acara itu selesai nyaris pukul 11 malam, saya punya beberapa alasan.

Alasan pertama saya menolak bergabung di sana adalah presentasi yang buruk. Mereka suka bertele-tele, tapi juga sangat suka menceritakan kisah mereka tentang kesuksesan. Nyaris semua cerita dimulai dengan "mahasiswa miskin" dan diakhiri dengan "bisa beli mobil dalam tempo 10 bulan". Cerita itu didramatisir dengan satire-satire, ditambah pula teriakan atau tepuk tangan tiba-tiba 'pegawai' dari bagian belakang. Oke, mungkin itu cara mereka memotivasi para pendatang baru, tapi bagi saya itu sangat tidak nyaman.

Alasan kedua: uang. Mereka sempat menceritakan proses dan waktu yang panjang mencapai milyaran rupiah itu. Dengan penekanan (atau pukulan di papan tulis pada setiap akhir kata 'dolar'), mereka sangat yakin bahwa angka fantastis itu bisa dicapai dengan cepat. Padahal kerjanya hanya merekrut, membina, merekrut, dan membina. Nyaris tidak membutuhkan keahlian apapun.

Saya pikir merekrut seseorang akan mudah, seperti asuransi. Pikiran itu bertahan sampai mereka berkata kami, para pendatang baru, wajib membeli produk yang harganya hanya hanya beberapa digit di bawah 10 juta rupiah. Dunia bisnis sudah mulai gila. Saya bahkan nggak butuh alat itu dan kalau mau gabung saya harus beli! Gimana pun caranya. 

Alasan ketiga : bagi mereka hampir semua pekerjaan selain pemilik perusahaan dan investor itu berada di taraf miskin. Pekerjaan seperti guru, dosen, pegawai negeri, pedagang, bahkan wiraswasta itu rawan gagal. Bangkrut. Saya cukup senyum sinis ketika mereka tanya apakah dosen kami yang paling kaya sekalipun mengendarai Alphard ke kampus? Tidak! Tidak ada dosen yang bawa mobil mewah ke kampus, dosen itu tidak makmur.

Benar. Tidak ada dosen bawa mobil mewah ke kampus. Dosen-dosen itu hanya bawa motor bebek, motor matic, mobil avanza, atau yaris dan jazz yang mungkin dibelinya beberapa tahun lalu. Tapi mungkin kita tidak tahu kalau dosen-dosen ini punya andil besar dalam masyarakat. Misalnya punya sekolah yang didirikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak ekonomi menengah ke bawah, punya rumah sakit, penulis puluhan buku, mungkin juga aktivis lingkungan. Mereka tidak punya waktu untuk beli atau merawat Lamborghini, rumah mereka mungkin sederhana, bukan rumah megah dengan lampu kristal dan hall untuk makan malam bersama.

Alasan keempat : Mereka menjelaskan bahwa kewajiban kami akan berhenti setelah mendapatkan 6 orang. Jadi kami akan membina mereka, 'bekerja sama', lalu uang akan datang dengan sendirinya. Tapi bagaimana kami bekerja? Apa yang bermanfaat untuk kami dan untuk orang lain? Apa spesialisasi kami akan meningkat? Saya nggak paham benar. Memang enak ya bekerja begitu, duduk diem-diem, eh rumah udah lunas, tinggal pelesir ke Maldives sebulan dua kali, atau berangkat umroh tiap tiga bulan. Sebenernya ini jadi iming-iming terbesar kenapa orang mau bergabung dan ya jujur saja, saya tergoda. Tapi ketika kewajibannya itu meminta orang lain beli barang yang nggak mereka butuhkan dengan harga yang nggak murah, mending saya mundur aja.

Alasan terakhir, alasan yang benar-benar membuat saya geleng-geleng kepala : arogan dan terlalu percaya diri memang beda tipis. Mereka menyatakan akan membuat kami semua kaya raya, sukses, berani bermimpi punya mobil Alphard. Kemudian mereka tanya 'siapa di antara kami yang akan nekat mendapatkan uang nyaris 10 juta itu untuk bergabung dengan mereka dan membuktikan ucapan mereka', saya menolak angkat tangan. Mereka mendoakan saya miskin sampai ahli waris. Tersentuh saya, bewildered, tapi tetap menolak angkat tangan. Udah hilang respek saya. 

Saya ingat mereka bilang 'ayo kita lihat, 4 tahun lagi siapa yang beli alphard duluan? Saya atau mereka yang tidak bergabung malam ini'. Ga tau deh, buat saya sukses bukan hanya tentang punya Alphard, punya ribuan dollar di buku tabungan, punya rumah tingkat 3 dengan landasan helikopter di atapnya. 

Mending saya ingat kata dosen saya yang cuma bawa mobil tua ke kampus : bekerjalah karena kamu tahu pekerjaan ini membawa manfaat buat kamu dan banyak orang. Bekerjalah karena pekerjaan itu membawa kebahagiaan padamu dan banyak orang di sekitarmu. Kita nggak hidup sendiri, tapi juga ada orang lain. Jangan pikirkan berapa uang yang akan kamu hasilkan, manusiawi memang kalau kita nggak akan pernah merasa cukup dengan uang. Buka koneksi, lihat kesempatan, asah softskill dan hardskill, jadilah berguna untuk banyak orang, bahkan kalau bisa untuk bangsa dan negara, uang akan datang dengan sendirinya.

Sukses itu butuh pengorbanan. Cara orang berkorban beda-beda juga. Ada yang kuliah tinggi-tinggi (biaya kuliah mahal, cyin), ada yang mending langsung kerja aja nggak nerusin kuliah, ada yang merantau jauh sampai jadi TKW ke Arab, ada yang jual rumah jual emas buat modal usaha, ada yang rela kerja keras tapi di tahun pertama cuma dibayar 100 ribu, dan seperti si Mas, pengorbanannya mau beli produk mahal dan mengajak orang lain untuk bergabung. Pengorbanannya beda karena buat mereka definisi sukses juga beda-beda. Nggak semua orang harus punya Alphard untuk bahagia. Jadi tolong Mas, cukup doakan yang baik-baik aja. 

Lagipula bukankah Tuhan sudah menjamin rezeki setiap makhluk yang berjalan di atas bumi? Bagi sebagian kita rezeki itu akan dilapangkan dan yang lainnya akan disempitkan. Kita hanya harus berusaha dan pandai-pandai bersyukur saja. Asal mau usaha, saya yakin kita nggak akan jadi miskin-miskin amat. Jadi, Mas, mohon maaf, semua orang pasti mau kaya, tapi buat saya nggak gini caranya. Bahagiamu bukan bahagiaku ya, Mas, biar aja saya miskin bagimu. Selamat menikmati kekayaan masing-masing, pokoknya jangan sampai miskin hati dan akal :)