Labels

Mar 12, 2018

I was Harassed Once

I was harassed once. Sexually.

Sabtu itu saya dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah mengendarai sepeda motor. Saya baru saja belok di sebuah tikungan melewati sebuah toko buku dan toko kue. Keadaan cukup sepi di bagian jalan itu ketika ada orang yang nyaris memepet motor saya dengan motornya. Seorang laki-laki ini tiba-tiba memasukkan tangan kirinya ke dalam rok saya, and what I saw on his left hand shocked me the most, sebuah kamera.

Laki-laki itu dengan sengaja memasukkan tangannya, mengambil gambar bagian yang ada di bawah rok saya, dan pergi ngebut dengan motornya. Kejadiannya sangat cepat. Saya sempat mengejar tapi saya kehilangan dia di keramaian. Saya tidak punya kekuatan untuk melakukan apa-apa selain pulang dengan berurai air mata. I was only nearly 17. Saya panik, kacau, takut, bahkan untuk bercerita. Saya tidak tahu harus berbuat apa.

Saya akhirnya cerita kepada orang tua, teman-teman dekat, dan dengan keberanian yang tersisa saya pergi ke guru BK. And I moved on. Mungkin saya memang menemukan sedikit penghiburan dari sana tapi jujur saja ini adalah penyesalan saya pada saat ini.

Pada tahun-tahun setelahnya, saya kadang masih memikirkan kejadian ini. Kadang sebelum tidur saya mencoba mengingat-ingat apakah saya pakai celana pendek rangkap di bawah rok saya (saya selalu pakai celana rangkap di bawah rok seragam saya, usaha meyakinkan diri sendiri bahwa saat itu saya memang pakai celana rangkap kadang-kadang menenangkan saya), apakah orang itu sekarang masih mencari korban lain, apa yang dia lakukan dengan gambar itu, tapi yang paling menakutkan bagi saya adalah pertanyaan kenapa dia melakukan itu,

Kenapa?

Ada yang bilang mungkin orang itu punya kelainan. Sama lainnya dengan eksibisionis yang suka pamer selangkangan tanpa sebab hanya dalam bentuk yang berbeda. Bisa jadi dia melakukan lebih dari itu. 'Lebih' yang sepeti apa, saya nggak berani memikirkannya.

I was once careless about myself. Saya kadang nggak peduli dengan cara duduk saya atau bagaimana saya harusnya bersikap layaknya teman-teman perempuan saya, misalnya saya berjalan seperti anak laki-laki, duduk seperti anak laki-laki, dan saya memang tidak terlihat anak perempuan. Saya nggak pernah khawatir dengan pakaian yang saya kenakan karena selain seragam sekolah, saya nggak pernah pakai rok. Karena itu, nggak pernah sekalipun saya berpikiran saya akan jadi korban pelecehan seksual.

Mungkin hal itu juga yang menjadi penyebab saya menyalahkan diri sendiri. Saya sempat marah dan menyalahkan diri sendiri. Kok bisa saya digituin, pasti karena pas itu saya duduk di jok motor dengan kaki agak sedikit terbuka dan memberikan celah bagi siapapun untuk 'melongok' ke dalamnya. Saya nggak bisa menjaga diri saya sendiri, meskipun faktanya saya tetap berusaha melindungi diri dengan mengenakan celana rangkap. Karena itu pula, saya menjadi malu.

Perasaan bersalah dan malu itu kemudian mempengaruhi saya di kehidupan saat ini. Meskipun tidak signifikan, tapi saya merasakannya. Saya merasa gelisah kalau buka artikel tentang pelecehan seksual, saya takut membayangkan kalau suatu saat foto yang berhasil didapat si orang itu tiba-tiba beredar entah di mana, saya khawatir kalau suatu saat nanti saya cerita entah pada pacar atau justru suami saya tapi dia malah nggak bisa menerima, dan saya was-was dengan respon orang lain kalau saya cerita tentang hal ini.

Saya ingat seseorang, tapi lupa tepatnya siapa, merespon cerita saya dengan respon yang biasa saja, seakan apa yang saya alami bukan masalah yang patut dibesar-besarkan. Saya pengen nangis kalau ingat itu, meskipun saya tahu bahwa kejadian itu terjadi cuma satu kali dan bahwa hidup saya sebegitu tidak berharganya bagi dia. Saya ciut dan akhirnya saya rasa masalah ini memang nggak perlu dibesar-besarkan.

Akhir tahun lalu saya mendapatkan keberanian untuk baca-baca artikel tentang pelecehan seksual tanpa harus merasa malu. Di salah satu artikel saya akhirnya tahu bahwa korban-korban pelecehan seksual cenderung menyembunyikan kasusnya karena malu dan merasa bahwa dirinya juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Mereka juga takut karena mereka nggak punya kuasa untuk melawan atau diteror oleh pelaku, makanya mereka memilih untuk diam.

Pada akhirnya sekarang saya sadar bahwa saya nggak perlu malu meskipun kadang saya masih merasa takut. Andai kata saya berani untuk bertindak lebih jauh mungkin si orang gila ini sudah tertangkap. Saya nggak tahu apakah ada korban lain setelah saya tapi saya nggak pernah dengar kasus seperti ini terjadi di kota saya. Entah karena mereka juga diam seperti saya atau si pria bertangan kurang ajar ini udah nggak beraksi lagi.

Di sisi lain saya mungkin nggak berhak untuk marah pada orang-orang yang menganggap sepele masalah saya, tapi saya merasa kecewa. Andai kata saat itu saya mendapat dukungan yang lebih banya, mungkin saya akan cukup berani untuk bicara. Tapi saya bisa memahami, beberapa orang memang nggak akan bisa merasakan sesuatu sampai mereka mengalamai sendiri.

Saya berharap nggak ada lagi orang-orang yang saya kenal, yang akan saya kenal, atau siapapun: perempuan, laki-laki, tua, muda, yang jadi korban pelecehan. Nggak ada yang mau dilecehkan, meskipun cuma sekali. Tapi kalaupun itu terjadi, saya harap para korban punya cukup keberanian untuk stand for themselves and fight back.


P.S :
March collab with Celina, maaf yang taktulis bukan tentang kemarahan tapi aku harus tulis tentang ini

No comments:

Post a Comment